Permasalahan anak jalanan, selain menambahkan beban pem-bangunan, juga kian merumitkan persoalan trafiking/ perdagangan manusia di Indonesia. Tentu masih melekat di benak kita kasus anak jalanan korban mutilasi dari kota Bandung yang diduga Asep Ridwan Saefullah. Beberapa anggota tubuh korban seperti ginjal, hati, dan lain-lain ternyata telah hilang. Diduga ia adalah korban sindikat perdagangan organ tubuh manusia yang skalanya tidak hanya domestik namun juga internasional.
Anak jalanan memang sangat rentan mengalami perdagangan, dikarenakan tidak terlindungi dengan semestinya. Masyarakat dan aparat penegak hukum kerap mencibir mereka dan justru menjadi bagian dari kekerasan yang mereka alami. Anak jalanan perempuan bahkan menanggung resiko jauh lebih berat ketimbang anak jalanan laki-laki, hasil peneli-tian Pusat Studi Wanita Universitas Diponegoro menggambarkan lebih dari 28 % anak perempuan di jalanan mengalami kekerasan seksual, diperdagangkan, dieks-ploitasi demi tujuan pornografi, serta kekerasan berbasis gender lainnya. Selain itu anak perempuan jalanan juga menanggung stigma yang lebih besar dari anak laki-laki karena masyarakat lalu menganggap mereka objek seksual dan jika mereka mengalami kekerasan seksual hal itu dianggap lumrah karena mereka berada di jalanan. Sebuah domain dimana laki-laki merasa boleh melakukan apa saja.
Departemen Kesehatan RI bahkan melaporkan bahwa anak yang hidup di jalanan lebih rentan akan terkena Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Dan kini, dari 144.889 anak yang hidup di jalanan, 8.581 anak telah terinfeksi HIV.
Anak-anak ini memang tidak pernah berpikir bahwa bahaya yang mengancam mereka akan sejauh ini, namun demikian fenomena anak jalanan sesungguhnya ada dimana-mana. Organisasi-organisasi pendamping anak jalanan, giat memberdayakan mereka baik di negara berkembang, maupun di negara-negara maju. Artinya seorang anak akhirnya memutuskan hidup di jalanan bukan semata karena faktor kemiskinan. Sebuah organisasi non profit di Jakarta bahkan pernah mewawancari mereka dan hasilnya 80 % anak memutuskan pergi dari rumah lantaran kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, serta keluarga yang tidak harmonis. Hanya 20 % yang mengaku punya alasan ekonomi.
Meski begitu, bagi anak-anak yang belum mampu berpikir jauh ke depan, jalanan menjadi tempat yang mungkin lebih menjanjikan. Bebas tanpa aturan, berpikir hanya untuk hari ini. Di Indonesia, anak yang mencari uang di jalanan bisa mendapatkan sekitar Rp. 20.000 hingga Rp. 40.000,- sehari. Itu pula yang menyebabkan banyak anak jalanan menghindari bangku sekolah dan lebih senang bermain dan mengais rejeki di jalanan. Tak jarang mereka dikoordinir oleh ’penjaga’ mereka dan diekspolitasi
Kini, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mengembali-kan anak-anak ini kepada habitat normalnya. Bahwa anak-anak berhak atas perlindungan dan kasih sayang, dan memang tidak seharusnya berada di jalanan. Karena jalanan bukanlah tempat anak-anak bertumbuh. Dari segi mental, lingkungan keras dapat menyebabkan mereka menjadi agresif dan anti sosial. Sementara eksploitasi, kekerasan seksual dan terabaikannya hak-hak reproduksi, dapat menyebabkan mereka mengalami gangguan organ reproduksi, tertular HIV/AIDS yang mengancam nyawanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar