RSS

Sabtu, 09 Agustus 2008

Terancam Punahkah Ibu RT?

Selamat kepada Imelda Fransisca yang dinobatkan sebagai Miss Indonesia. Mudahan sukses selalu. Banyak pemilihan keperempuanan digelar, dari tingkat lokal hingga bertahap internasional. Baik yang masih di level anak-anak, remaja, dewasa bahkan pemilihan perempuan berprestasi yang tak dibatasi umur.

Sejak PBB mengumumkan 1975 sebagai International Decade of Women, lalu John Naisbitt, Patricia Aburdenedanam Megatrendnya juga bicara hal senada. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya milik kaum laki-laki sudah banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan semakin tak terelakkan. Makin hari berita tentang perempuan semakin marak di berbagai media. Kabar tentang keberhasilan kaum perempuan muncul di mana-mana baik melalui televisi, surat kabar juga internet, semua dipenuhi tentang kesuksesan kaum perempuan.

Satu yang menarik perhatian, posisi ‘ibu rumah tangga’ terasa makin hari makin hilang dari pembicaraan. Kenyataan, posisi ibu rumah tangga (RT) yang 24 jam bekerja di rumah; memasak, mencuci piring-baju, menyapu dan mengepel serta menata rumah setiap hari dengan rutinitas yang sama; makin hari terasa makin tenggelam, hilang dan terlihat semakin tidak diminati.

Apakah ini berarti posisi ibu rumah tangga semakin hari akan berada diambang ‘kepunahan’? Status sebagai ibu RT diperkirakan kian hari akan makin langka. Apakah memang ini yang diimpikan kaum perempuan?

Bagi penganut Feinisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Dengan begitu penyesuaianya pun harus bersifat struktural, dengan apa yang mereka sebut proses revolusi. Setelah revolusi, perubahan struktur kelas yang ada, garansi persamaan bagi laki-aki dan perempuan belum memadai karena perempan tetap dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka (Dr Mansyur Fakih: Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, 1996).

Mengutip Engels dalam karyanya The Origin of Family Private Property and the State, hanya jika urusan mengurus rumah yang ditransformasikan menjadi industri sosial dan menjaga serta mendidik anak menjadi urusan umum, maka perempuan tidak akan mencapai equalitas yang sejati. Emansipasi hanya terjadi jika perempuan terlibat produksi dan berhenti mengurus RT. Dengan bahasa sederhana, apakah ini diartikan posisi sebagai ibu RT memang seharusnya ‘dilenyapkan’?

Ada dua analisa sederhana, mengapa jabatan ibu RT makin hari makin tidak diminati. Pertama, posisi perempuan yang ‘hanya’ sebagai ibu RT ternyata makin hari terlihat semakin rawan pada Kejahatan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

KDRT sendiri secara umum dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis dan seksual pada seseorang yang berada dalam lingkup RT. Syukurlah, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan. Itu berarti, siapa saja bisa melindungi korban KDRT dengan melaporkan kasus yang ada ke polisi.

Masalahnya, UU ini akan terasa efektif jika kaum perempuan -yang jadi sasaran awal ‘perlindungan’- punya kepercayaan diri untuk berani ‘bicara’, dalam rangka melepaskan diri dari kekerasan yang menimpanya. Keberanian ini sering bermuara pada diri perempuan yang mampu secara ekonomi.

Ada pernyataan menarik Diah Irawaty (Kompas, 29/12/04) adalah sesuatu yang masuk akal, kita harus membuka mata (tambahan dari saya: dan harus berlapang dada) mengakui, kerelaan mayoritas perempuan untuk dipoligami lebih karena ketidakberdayaan ekonomi. Tidak sekadar karena takut miskin, tetapi juga takut kemiskinan anak-anak. Demi itu semua, perempuan rela menahan siksa kekerasan poligami.
Maraknya kasus perceraian artis di media akhir-akhir ini, dalam kacamata saya yang awam, adalah karena mereka (baca: isteri) merasa mampu membiayai diri, juga anak, mereka tanpa perlu bergantung pada suami. Akibatnya, mereka dengan ringan bisa mengangkat palu untuk memutus: cerai.

Kedua, perempuan yang ‘hanya’ sebagai ibu akhir-akhir ini sering tidak ‘dianggap’ di masyarakat. Hal ini terlihat dari nyaris tidak pernah ada media yang mau mengangkat kesuksesan perempuan yang berprofesi semata sebagai ibu RT, kecuali untuk Ibu RI 1 dan RI 2.

Tokoh perempuan yang selalu naik ke permukaan adalah ibu yang punya ‘sambilan’ lain dan ia sukses di sambilannya itu. Bukan sudut keibuannya yang disorot. Artinya, media lebih banyak menyorot sisi di luar ‘peran keibuannya’. Media kerab terlihat menggiring masyarakat untuk membenarkan, perempuan harus berkarir, harus punya banyak uang agar bisa lebih banyak berbuat.

Nyaris dalam semua acara/rubrik; berita, sinetron, dan musik selalu (atau sangat sering) menyuguhkan fakta bahwa perempuan bisa lebih dari sebagai ibu RT yang akan ‘naik’ ke permukaan, menjadi popular dan ngetop, untuk kemudian bisa banyak berbuat.

Malah fenomena Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dulu kurang ‘dianggap’, sekarang seperti bisa terlihat ‘lebih’ dibanding hanya sebagai ibu RT. Hingga banyak ibu (baik yang sengaja atau tidak, terpaksa atau sukarela) lebih memilih menjadi pembantu (kebanyakan ke luar negeri) daripada sekadar menjadi ibu RT.

Ini didukung kenyataan, kalau mengerjakan tugas domestik di rumah sendiri, tak ada bayarannya. Sedang kalau mengerjakan hal yang sama di rumah orang lain apalagi di luar negeri, akan mendapat bayaran.

Beberapa kali pemilihan perempuan berprestasi dari seluruh penjuru nusantara yang diadakan media cetak dan elektronik, diundang ke Jakarta. Hasilnya, finalis yang terpilih pun lagi-lagi kaum ibu yang punya kesuksesan di ‘luar’ ke ibuannya. Artinya, posisi sebagai ibu RT seperti tak bisa dinilai sebagai sebuah prestasi. Itu adalah pekerjaan yang biasa-biasa saja, tidak bisa mendapat nilai yang berarti dan tidak juga bisa dibanggakan.

Dari dua analisa sederhana ini, mau tidak mau Teori Marxist klasik yang menginginkan perubahan status perempuan, hanya terjadi melelui revolusi sosialis. Dengan cara menghapuskan pekerjaan domestik (RT) seperti ada benarnya, karena sekarang pun perkembangannya tampak mengarah ke sana. Makin disadari atau tidak, gelombang arus keperempuanan seperti terus menenggelamkan posisi ibu RT. Tidak saja di mata perempuan sebagai pelaku, di mata kaum lelaki juga anak-anak sebagai generasi penerus.

Jika kenyataan yang terjadi sudah sedemikian rupa, apa kira-kira yang bisa kita (kususnya kaum ibu RT) lakukan dalam menyisati hari-hari ke depan?

Agaknya tak perlu resah dan gelisah. Masih banyak sisi positif yang bisa dinikmati dari sisi seorang ibu. Dengan berprofesi sebagai ibu RT, secara otomatis kita dikaruniai variasi pilihan yang tak terbatas. Rutinitas ibu RT akan lebih fleksibel, daripada mereka yang terikat kontrak kerja di luar rumah. Seorang ibu bisa bebas menentukan kapan saat untuk suami, anak dan juga keperluan dirinya, tanpa perlu takut bentrok denganjadwal di kantor.

Memang agak susah jika ‘hanya’ untuk bisa eksis di tengah masyarakat seperti ini. Tapi jika kenyataan ini kita pandang dari sisi positifnya, barangkali memang sudah saatnya ibu RT mencoba menghasilkan karya nyata (kalau tidak sendiri, dengan sesama ibu yang lain barangkali?) di samping megerjakan tugas domestiknya.

Kalau ibu RT sudah bisa ‘merdeka’, bisa mandiri, keluar dari tugas kesehariannya, bukankah itu menandakan keberadaan perempuan sudah benar-benar bisa sebanding dengan kaum laki-laki? Kalau ini sudah terjadi, apakah masih diperlukan peringatan Hari Ibu seperti biasa dirayakan pada 22 Desember setiap tahun?

Selamat kepada Imelda Fransisca yang dinobatkan sebagai Miss Indonesia. Mudahan sukses selalu. Banyak pemilihan keperempuanan digelar, dari tingkat lokal hingga bertahap internasional. Baik yang masih di level anak-anak, remaja, dewasa bahkan pemilihan perempuan berprestasi yang tak dibatasi umur.

Sejak PBB mengumumkan 1975 sebagai International Decade of Women, lalu John Naisbitt, Patricia Aburdenedanam Megatrendnya juga bicara hal senada. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya milik kaum laki-laki sudah banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan semakin tak terelakkan. Makin hari berita tentang perempuan semakin marak di berbagai media. Kabar tentang keberhasilan kaum perempuan muncul di mana-mana baik melalui televisi, surat kabar juga internet, semua dipenuhi tentang kesuksesan kaum perempuan.

Satu yang menarik perhatian, posisi ‘ibu rumah tangga’ terasa makin hari makin hilang dari pembicaraan. Kenyataan, posisi ibu rumah tangga (RT) yang 24 jam bekerja di rumah; memasak, mencuci piring-baju, menyapu dan mengepel serta menata rumah setiap hari dengan rutinitas yang sama; makin hari terasa makin tenggelam, hilang dan terlihat semakin tidak diminati.

Apakah ini berarti posisi ibu rumah tangga semakin hari akan berada diambang ‘kepunahan’? Status sebagai ibu RT diperkirakan kian hari akan makin langka. Apakah memang ini yang diimpikan kaum perempuan?

Bagi penganut Feinisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Dengan begitu penyesuaianya pun harus bersifat struktural, dengan apa yang mereka sebut proses revolusi. Setelah revolusi, perubahan struktur kelas yang ada, garansi persamaan bagi laki-aki dan perempuan belum memadai karena perempan tetap dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka (Dr Mansyur Fakih: Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, 1996).

Mengutip Engels dalam karyanya The Origin of Family Private Property and the State, hanya jika urusan mengurus rumah yang ditransformasikan menjadi industri sosial dan menjaga serta mendidik anak menjadi urusan umum, maka perempuan tidak akan mencapai equalitas yang sejati. Emansipasi hanya terjadi jika perempuan terlibat produksi dan berhenti mengurus RT. Dengan bahasa sederhana, apakah ini diartikan posisi sebagai ibu RT memang seharusnya ‘dilenyapkan’?

Ada dua analisa sederhana, mengapa jabatan ibu RT makin hari makin tidak diminati. Pertama, posisi perempuan yang ‘hanya’ sebagai ibu RT ternyata makin hari terlihat semakin rawan pada Kejahatan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

KDRT sendiri secara umum dapat diartikan sebagai segala bentuk perilaku yang menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis dan seksual pada seseorang yang berada dalam lingkup RT. Syukurlah, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan. Itu berarti, siapa saja bisa melindungi korban KDRT dengan melaporkan kasus yang ada ke polisi.

Masalahnya, UU ini akan terasa efektif jika kaum perempuan -yang jadi sasaran awal ‘perlindungan’- punya kepercayaan diri untuk berani ‘bicara’, dalam rangka melepaskan diri dari kekerasan yang menimpanya. Keberanian ini sering bermuara pada diri perempuan yang mampu secara ekonomi.

Ada pernyataan menarik Diah Irawaty (Kompas, 29/12/04) adalah sesuatu yang masuk akal, kita harus membuka mata (tambahan dari saya: dan harus berlapang dada) mengakui, kerelaan mayoritas perempuan untuk dipoligami lebih karena ketidakberdayaan ekonomi. Tidak sekadar karena takut miskin, tetapi juga takut kemiskinan anak-anak. Demi itu semua, perempuan rela menahan siksa kekerasan poligami.
Maraknya kasus perceraian artis di media akhir-akhir ini, dalam kacamata saya yang awam, adalah karena mereka (baca: isteri) merasa mampu membiayai diri, juga anak, mereka tanpa perlu bergantung pada suami. Akibatnya, mereka dengan ringan bisa mengangkat palu untuk memutus: cerai.

Kedua, perempuan yang ‘hanya’ sebagai ibu akhir-akhir ini sering tidak ‘dianggap’ di masyarakat. Hal ini terlihat dari nyaris tidak pernah ada media yang mau mengangkat kesuksesan perempuan yang berprofesi semata sebagai ibu RT, kecuali untuk Ibu RI 1 dan RI 2.

Tokoh perempuan yang selalu naik ke permukaan adalah ibu yang punya ‘sambilan’ lain dan ia sukses di sambilannya itu. Bukan sudut keibuannya yang disorot. Artinya, media lebih banyak menyorot sisi di luar ‘peran keibuannya’. Media kerab terlihat menggiring masyarakat untuk membenarkan, perempuan harus berkarir, harus punya banyak uang agar bisa lebih banyak berbuat.

Nyaris dalam semua acara/rubrik; berita, sinetron, dan musik selalu (atau sangat sering) menyuguhkan fakta bahwa perempuan bisa lebih dari sebagai ibu RT yang akan ‘naik’ ke permukaan, menjadi popular dan ngetop, untuk kemudian bisa banyak berbuat.

Malah fenomena Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang dulu kurang ‘dianggap’, sekarang seperti bisa terlihat ‘lebih’ dibanding hanya sebagai ibu RT. Hingga banyak ibu (baik yang sengaja atau tidak, terpaksa atau sukarela) lebih memilih menjadi pembantu (kebanyakan ke luar negeri) daripada sekadar menjadi ibu RT.

Ini didukung kenyataan, kalau mengerjakan tugas domestik di rumah sendiri, tak ada bayarannya. Sedang kalau mengerjakan hal yang sama di rumah orang lain apalagi di luar negeri, akan mendapat bayaran.

Beberapa kali pemilihan perempuan berprestasi dari seluruh penjuru nusantara yang diadakan media cetak dan elektronik, diundang ke Jakarta. Hasilnya, finalis yang terpilih pun lagi-lagi kaum ibu yang punya kesuksesan di ‘luar’ ke ibuannya. Artinya, posisi sebagai ibu RT seperti tak bisa dinilai sebagai sebuah prestasi. Itu adalah pekerjaan yang biasa-biasa saja, tidak bisa mendapat nilai yang berarti dan tidak juga bisa dibanggakan.

Dari dua analisa sederhana ini, mau tidak mau Teori Marxist klasik yang menginginkan perubahan status perempuan, hanya terjadi melelui revolusi sosialis. Dengan cara menghapuskan pekerjaan domestik (RT) seperti ada benarnya, karena sekarang pun perkembangannya tampak mengarah ke sana. Makin disadari atau tidak, gelombang arus keperempuanan seperti terus menenggelamkan posisi ibu RT. Tidak saja di mata perempuan sebagai pelaku, di mata kaum lelaki juga anak-anak sebagai generasi penerus.

Jika kenyataan yang terjadi sudah sedemikian rupa, apa kira-kira yang bisa kita (kususnya kaum ibu RT) lakukan dalam menyisati hari-hari ke depan?

Agaknya tak perlu resah dan gelisah. Masih banyak sisi positif yang bisa dinikmati dari sisi seorang ibu. Dengan berprofesi sebagai ibu RT, secara otomatis kita dikaruniai variasi pilihan yang tak terbatas. Rutinitas ibu RT akan lebih fleksibel, daripada mereka yang terikat kontrak kerja di luar rumah. Seorang ibu bisa bebas menentukan kapan saat untuk suami, anak dan juga keperluan dirinya, tanpa perlu takut bentrok denganjadwal di kantor.

Memang agak susah jika ‘hanya’ untuk bisa eksis di tengah masyarakat seperti ini. Tapi jika kenyataan ini kita pandang dari sisi positifnya, barangkali memang sudah saatnya ibu RT mencoba menghasilkan karya nyata (kalau tidak sendiri, dengan sesama ibu yang lain barangkali?) di samping megerjakan tugas domestiknya.

Kalau ibu RT sudah bisa ‘merdeka’, bisa mandiri, keluar dari tugas kesehariannya, bukankah itu menandakan keberadaan perempuan sudah benar-benar bisa sebanding dengan kaum laki-laki? Kalau ini sudah terjadi, apakah masih diperlukan peringatan Hari Ibu seperti biasa dirayakan pada 22 Desember setiap tahun?

Tidak ada komentar: