RSS

Senin, 16 Mei 2011

MEMPERSOALKAN PERTAHANAN BUDAYA KITA

“Kalau boleh digeneralisasi, dapat dikatakan bahwa, secara sosialmasyarakat
Indonesia masih memiliki sedikit pertahanan ‘kultural untuk tidak segerajatuh
pada intoleransi; akan tetapi secara politik, kebijakan politik yang ada memang
tidak mampu mengakomodasi suatu politik pluralis yang lebih bisa menjamin
toleransi”, demikian tulis Redaksi Majalah. Hidup,Jakarta edisi 30 November
2010. Sejarah menunjukkan bahwa apalagi secara politik, kebijakan politik yang
ada tidak mampu menunjang pertahanan budaya kita, maka jatuhnya pertahanan
kultural itu hanya menunggu waktunya.

Pada saat jatuhnya pertahanan kultural itu, para pendukung budaya yang kalah itu
akhirnya tidak lagi menjadi dirinya. Jatuhnya benteng budaya sebagai benteng
terakhir seseorang, etnik atau bangsa membuat para pendukungnya menjadi
budak-budak dari penakluk yang memenangi suatu wilayah dan penduduknya tanpa
melalui suatu pertempuran fisik.

Yang sedang kita hadapi sekarang adalah sebuah perang bukan fisik, yaitu perang
kebudayaan. Bom-bom teroris yang meledak dan merenggut nyawa orng-orang tidak
bersalah,termasuk bom molotov yang disasarkan kepada salah seorang penggiat LSM
di Palangka Raya baru-baru ini, secara hakiki adalah bentuk dari perang budaya
pula. Sebab tindakan berawal dari pikiran. Pikiran adalah sari kebudayaan.
Kekalahan dalam perang budaya membuat kita menjadi embel-embel pihak lain.

Tidak usah merujuk jauh ke sejarah negeri dan bangsa-bangsa lain di dunia,
sejarah Indonesia sendiri menunjujukkan bahwa penaklukan suatu negeri dan bangsa
selalu didahului oleh perang budaya. Ketika perang budaya tidak berhasil, maka
perang fisik dilancarkan.Ketika perang fisik dilangsungkan, ia juga disertai
oleh perang budaya. Kemenangan perang fisik kemudian dikonsolidasi dengan perang
budaya agar penguasaan daerah menjadi semakin kokoh dengan penaklukan manusia.
Penaklukan manusia tidak lain dari penaklukan budaya: penguasaan jiwa, hati dan
roh anak negeri dan bangsa tersebut. Sebagai misal, ketika militerisme menduduki
Indonesia dalam Perang Dunia, Jepang mengkonsolidasi pendudukan wilayahnya
secara fisik dengan Niponisasi Budaya negeri kita.Kita diniscayakan belajar
bahasa Jepang, menundak-nunduk pada Jepang, memuja-muji putera-puteri Dewa
Matahari dan budaya Nipon. Wacana ‘’Saudara Tua’’, “Asia Timur Raya’’, tidak
lain dari slogan-slogan yang bersumber pada ide penaklukan budaya.

Belanda juga melakukan hal serupa melalui pendidikan, menggunakan lembaga
kebudayaan seperti Sticusa yang dipimpin oleh seorang letnan Angkatan Darat
Kerajaan, memecah barisan kebudayaan pendukung Republik Indonesia (RI) yang
beribukotakan Yogyakarta.Dalam konteks sejarah kehadirannya (bukan dari isi
gagasan) di Indonesia konsep Humanisme Universal masuk ke Indonesia pada saat
genting-gentingnya eksistensinya sebagai negara muda.Saat RI menghadapi soal
hidup atau mati. Dengan masuknya gagasan ini, barisan seniman-budayawan dan
cendekiawan Indonesia yang tadinya bersatu lalu terpecah oleh wacana bahwa tidak
ada musuh karena semuanya adalah anak manusia. Untuk mencegah barisan kebudayaan
Indonesia meluncur ‘’ke kanan’’ maka Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan
pada 17 Agustus 1950 dengan.menggarisbawahi komitmen seniman budayawan dan
cendekiawan pada ide-ide republikan dan berkeindonesiaan.Perang budaya pada
hakekatnya tidak lain dari pertarungan ide. Pergulatan nilai.

Adanya angkatan yang lebih kenal dan hapal nama-nama kanal (sebenarnya selokan
besar) di Negeri Belanda daripada nama-nama sungai, tanjung dan teluk di negeri
sendiri,lebih fasih berbahasa Belanda daripada berbahasa Indonesia adalah salah
satu hasil dari Belandanisasi Budaya di negeri kita. Orang-orang Indonesia hasil
Belandanisasi ini dalam bahasa Jawa disindir dengan sebutan ‘’Belanda Godong’’
(Belanda Daun), Orang Dayak menyebutnya sebagai ‘’Belanda Hitam’’ atau ‘’Belanda
Coklat”. Dalam kehidupan sehari-hari, Belanda-Belanda Daun ini sering lebih
Belanda dari Belanda Putih yang berhidung mancung, tinggi besar, berambut
pirang. Karena roh, jiwa (hambaruan)nya sudah ditaklukkan maka tidak mustahil
apabila Belnda-Belanda Daun ini dalam politik menjadi kacung penjajah dan sesuai
kepetingan penjajahannya (baik dalam bentuk lama ataupun baru), orang-orang
begini’’dibangsawankan’’. Dalam ilmu militer orang-orang jenis ini disebut
sebagai Kolone Ke-5 musuh atau ‘’head-bridge’’ bagi suatu penyerbuan masif guna
penaklukan total.

Agresi kebudayaan terhadap negeri ini, perang kebudayaan di Indonesia sampai
hari ini, bukan saja belum berakhir, tetapi justru sedang marak-maraknya.Salah
satu bentuknya adalah upaya menggantikan Pancasila dengan ideologi baru,
modernitas dan globalisasi disinonimkan dengan Baratisasi (Westernization),
lahirnya bahasa gado-gado, keterasingan diri secar budaya walaypun lahir, besar
dan hidup di Indonesia, lebih mengenal negeri lain daripada kampung-halaman
sendiri, dan lain-lain.

Bagaimana dengan Kalteng? Agresi budaya di daerah ini mempunyai sejarah panjang
da hari ini masih terus berlangsung, bahkan kian gencar.Oleh sementara pihak
budaya Dayak disebut ‘’budaya setan’’, dan mereka datang untuk ‘’memperadabkan’’
orang Dayak, sebagaimana politik desivilisasi ‘’ragi usang’’,‘’mission sacrée’’
(misi suci), ‘’terra in cognita’’ Belanda dahulu, yang dilancarkan lebih gencar
lagi setelah Pertemuan Tumbang Anoi 1894. ‘’Pemusyrikan’’ dan ‘’pengkafiran’’
penganut budaya Kaharingan atau imbuhan Hindu pada Kaharingan, secara hakiki dan
kalau berani jujur tidak lain dari wujud agresi budaya juga. Apakah semua
melihatnya jelas? Lalu bagaimana masalah pertahanan budaya Kalteng di hadapan
agresi demikian? Apakah, Uluh Kalteng, terutama Uluh Itah, kurang menyadari
bahayanya kekalahan dalam perang budaya ini.Perang yang mau menduduki jiwa dan
pikiran kita.

Dalam sejarah Uluh Itah beberpa bentuk kekalahan dalam perang budaya ini, adalah
pengingkaran diri sebagai Dayak ketika pindah agama, atau.lebih suka berbahasa
orang lain daripada berbahasa Dayak. Sekarang, kekalahan budaya ini juga
memperlihatkan diri dalam bentuk meremehkan warisan budaya leluhur yang positif,
memandang khazanah budaya sendiri sebagai ketinggalan zaman, kebudayaan “zaman
Siti Nurbaya”. Merasa diri modern tanpa mengetahui apa gerangan yang disebut
modern. Mengira modern sama dengan menggunakan telpon genggam (sampai-sampai
saat makan pun sibuk dengan ber-sms-sms-an, seakan-akan kesibukannya mengalahi
kesibukan seorang gubernur atau presiden) , menggunakan sepeda motor atau mobil,
lihai menggunakan komputer, dan teknologi canggih kekinian. Bentuk lain adalah
minimnya tatakrama hingga ke tingkat minim adat. Di kalangan orang dewasa dari
berbagai kalangan dan pekerjaan, gejala yang mempercepat jatuhnya pertanahan
budaya ini adalah mempertuhankan materi,terutama uang sehingga dalam pemilu
misalnya pemilih sanggup menjual roh atau hambaruan-nya untuk 50-200 ribu rupiah
dan para calon tak segan membeli suara. Jumlah Rp.200 ribu jauh lebih rendah
dari harga seekor anjing; Orang-orang lupa apa yang dikatakan oleh
Krinsky,Co-Director International Action Center Sara Flounders, bahwa uang
adalah senjata utama imperialis dan pemilik modal untuk mengendalikan,
mendominasi dan meraup keuntungan. Barrack Obama sendiri ‘’gunakan uang untuk
merampungkan tugas dengan cara apapun” (Do whatever with money). Tidakkah ‘’do
whatever with money’’ sudah dan terus berlangsung di Kalteng juga? Ini tidak
berarti kita tidak perlu uang, tapi jangan sampai untuk uang kita menjual
hambaruan dan seluruh petak danum (kampung halaman, tanahair). Jatuhya benteng
pertahanan budaya, membuat kita tidak lagi punya penapis nilai untuk membedakan
baik-buruk, mulia dan yang menjijikkan, tidak punya jati diri dan bahasa
berdialog dengan budaya lain di dunia dan negeri ini. Apabila memperhatikan
keadaan Kalteng, nampak benar pertahanan budaya kita sangat lemah; Bahkan rapuh.
Keluarga ebagai entitas terkecil masyarakat sudah bukan jadi benteng budaya
Dayak. Politik yang seharusnya menopang dan memperkokoh benteng ini, justru
nampak kurang mengacuhkannya. Mungkin karena tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Mulok (muatan lokal) yang bisa memainan peranan strategis untuk
penguatan benteng budaya secara jangka panjang, nampak tidak terurus serius.
Dunia pendidikan baik formal atau non formal berperan besar dan menentukan untuk
penguatan benteng budaya dan pembangunan Budaya Uluh Kalteng Beridentitas
Kalteng, tapi sungguh celaka justru bidang pendidikan dan kebudayaan dijadikan
komoditas.Konsensus politik bukanlah mantra atau jampi-jampi politik yang sekali
diucapkan akan bertelur di kejadian. Konsensus politik adalah nama kosong, yang
mesti diisi dengan tindakan politik yang sejalan dengan pendirian-pendirian di
dalam konsensus dasar itu. Demikian juga dengan mulok dan pembangunan serta
penguatan benteng kebudayaan. Saya khawatir dengan pengabaian terhadap benteng
budaya, kita sedang menyiapkan penghancuran suatu etnik. Dan etnik itu bernama
Dayak, Uluh Itah. Barangkali oleh derasnya kontaminasi uang dan ragam budaya
uang, senjata utama imperialis dan pemilik modal besar, kegawatan ini menjadi
sangat sulit dipahami dan disadari sampai konflik sosial dan. keadaan sangat
buruk hampir tak tertolong kelak suatu hari terjadi.Yang sedikit menggembirakan
dalam upaya memperkuat pertahanan budaya di daerah ini adalah pandangan, sikap,
pernyataan dan rencana budaya Gubernur A.Teras Narang dalam acara ‘’Gubernur
Hasupa Rakyat’’di TVRI Kalteng (12 Mei 2011).Tindaklanjutnya berada di tangan
para ‘’perwira’’ Gubernur. Masalah Budaya Kalteng adalah ‘’it is now or never’’
(sekarang atau binasa), jika meminjam ungkapan Elvis Presley, The King of the
Rock.***

Kusni Sulang, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.

Tidak ada komentar: