Mirwan Andan
Negeri Porno*
Bahwa kaum agamawan adalah mereka yang paling peka bereaksi atas soal pornografi dan pornoaksi, itu tampaknya berkait dengan fungsi sosial agama. Agama, kita tahu, adalah teknologi sosial yang tumbuh untuk menjaga kelangsungan hidup dan pemekaran potensi-potensi intrinsik manusia. Sebuah teknologi untuk mendukung upaya pemanusiaan manusia.
Agama-agama tradisional, yang kadang disebut sebagai agama-agama Bumi, hadir ketika kehidupan manusia masih belum begitu kompleks. Manusia masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Persoalan terbesar yang mereka hadapi adalah kelangsungan hidup sehari-hari, dan itu sangat tergantung pada pengenalan dan penguasaan lingkungan alam yang sering berubah tak terduga. Itu sebabnya agama-agama tradisional sangat banyak dipenuhi oleh berbagai ritual alam: ritual sungai, hutan, tanah dan samudera.
Ketika pengetahuan tentang lingkungan alam telah berkembang jauh dengan tingkat kekukuhan yang bisa diandalkan, manusia jadi lebih punya banyak waktu luang untuk berkembang biak dan menyusun masyarakat yang makin kompleks. Agama-agama "baru" yang biasa juga disebut dengan agama-agam Langit, hadir di tengah masyarakat yang kian kompleks ini. Agama-agama Langit itu memberi cahaya di tengah masyarakat yang problem terbesarnya bukan lagi lingkungan alam yang perilaku dan siklusnya sudah semakin banyak dijangkau pengetahuan manusia. Problem terbesar mereka adalah kian kompleks dan kian problematisnya hubungan antar manusia. Itu pula sebabnya maka agama-agama Langit tampak banyak dipenuhi dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar-manusia: hukum jual beli, waris, perkawinan hingga tata pemerintahan.
Tentu tak berarti bahwa agama-agama Bumi dengan perhatiannya yang sangat besar pada lingkungan alam, tak memberi perhatian memadai pada tata kehidupan masyarakat. Atau sebaliknya, perhatian yang sangat besar pada penataan masyarakat yang diperlihatkan agama-agama Langit tak menyisakan ruang pada pengelolaan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pergeseran perhatian utama itu lebih menunjukkan pergeseran perkembangan dan persoalan-persoalan penting masyarakat manusia. Dalam pergeseran itu, seutas benang merah tetap menyambung keduanya: dorongan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan.
Upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan itu terlihat sangat jelas pada pengelolaan aspek paling dasar dari kehidupan biologis: seksualitas dan reproduksi. Secara sangat menyederhanakan, dapat dikatakan bahwa pada agama-agama tradisional yang lebih bertumpu pada persoalan penjaminan kelangsungan hidup manusia, soal seksualitas terasa jauh lebih longgar. Batasan-batasan yang didirikan bertumpu di sekitar tabu inses, yang adalah penapis pencegah rontoknya mutu genetis manusia sekaligus pemisah antara gerombolan hewani dan komunitas manusiawi. Tidak jarang upacara-upacara yang erotik hadir di
Sementara itu, pada agama-agama yang datang belakangan, perhatian telah meningkat lebih jauh ketimbang urusan tabu inses saja. Dorongan erotik yang di masyarakat-masyarak at tradisional tampak dilepaskan dengan bebas, pelan-pelan dikendalikan dan disublimasi. Pengertian bahwa perilaku seksualitas yang tak terkontrol dapat membawa bencana sebagaimana halnya pelanggaran tabu inses, kemudian tumbuh meluas.
Dalam banyak sejarah, persoalan seksualitas dan reproduksi manusia ini, terutama ketika lingkungan alam dan sosial tak medukung, memang bisa menghadirkan berbagai malapetaka. Populasi yang bertambah yang tidak dibarengi dengan perluasan ruang penopang kehidupan dan aktualisasi diri, sangat sering mengakibatkan kekerasan dan pertumpahan darah. Gejala ini sesugguhnya sangat universal, terlihat bahkan dari kehidupan mamalia kecil hingga ke khazanah sastra manusia. Dalam salah satu wiracarita terbesar di dunia, dua buah keluarga yang berasal dari kakek yang sama, akhirnya saling tumpas bagai hewan buas dalam sebuah ruang sosial politik yang tak dapat dibagi. Satu generasi hilang, dan tatanan masyarakat yang begitu susah payah dibangun dan menjadi obsesi besar agama-agama, akhirnya hancur berantakan. Semua ini disebabkan, demikian kesimpulan sejumlah kaum moralis, oleh perilaku seksual yang tak dikendalikan. Karena itulah, perilaku seksual, termasuk pornografi dan pornoaksi (neologisme ganjil yang di kamus Webster tak tercantum), harus dikontrol seketat mungkin.
Tetapi benarkah pertumpahan darah dalam keluarga disebabkan oleh sepak terjang seksual, yang mestinya disublimasi? Benarkah adegan ciuman di bioskop bisa menganggu publik bahkan mengguncang tatanan masyarakat yang memang penting bagi perkembangan kehidupan manusia itu?
Buat saya, hancurnya keluarga manusia, disebabkan oleh kengototan memperebutkan ruang yang tak dapat dibagi, dan ketidakmampuan mengembangkan ruang baru yang bisa tumbuh tanpa batas. Kelompok-kelompok manusia yang sanggup hijrah dan bermigrasi menuju sebuah ruang baru, baik itu ruang geografis, ruang sosial atau ruang literer; mereka inilah kelompok yang bisa berkembang dan memperkaya peradaban.
Adapun tentang upaya pengontrolan pornografi dan pornoaksi, semua ini tampak sebagai penjelmaan dari sebuah niat besar dan mulia tapi dengan dasar-dasar epistemologis yang goyah. Pornografi dan pornoaksi adalah kambing hitam, dan upaya untuk mengudang-undangkan nya kelak mungkin akan dikenang sebagai salah satu upaya legal paling keliru dalam sejarah. Yang pasti, ketimbang adegan ciuman di bioskop atau hamparan tubuh yang rekah dan terbuka di papan-papan iklan, saya (dan pasti bukan hanya saya; terima kasih Enin Supriyanto) lebih terganggu, dan menganggap lebih porno, adegan seorang bapak yang kebingungan menggendong mayat anaknya, dan tak tahu hendak dimakamkan di mana. Adegan porno ini akhirnya hilang oleh upaya kaum jelata yang patungan menolong Supriono, si bapak
Alangkah banyak memang adegan porno di sekitar kita. Anak-anak ingusan yang mestinya bermain di halaman sekolah tetapi terpaksa ngasong di fly-over; tubuh-tubuh cacat yang menyeret dirinya di lantai gerbong kereta yang jorok; pedagang kaki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar