RSS

Rabu, 02 September 2009

BOM Bunuh Diri



Bom bunuh diri yang dilakukan atas nama "kebenaran" agama, menurut sosiolog asal Iran, Dr Ziba Mir-Hosseini, sebenarnya tak ada kaitannya dengan agama. "Mereka, laki-laki dan perempuan, melakukannya dengan keyakinan atas ideologi tertentu," ujar Ziba di Yogyakarta akhir Juli 2005.

Feminis Muslim, Lies Marcoes-Natsir yang dihubungi Kamis (27/8) menambahkan, keterlibatan perempuan sebagai pembawa bom bunuh diri bisa bersifat eksistensial.

Menurut Lies, dalam dunia yang menganggap perempuan separuh manusia, eksistensi perempuan baru diakui ketika ia menjadi martir. "Sekali berarti, sudah itu mati," ujarnya.

Dehumanisasi sistematik yang diteorikan feminis hitam, bell hooks, berlaku di sini. "Kalau perempuan saja tidak diperhitungkan, apalagi anak," lanjut Lies.

Menurut Ziba, patriarkhi tak bisa berlangsung tanpa perempuan. Sistem di dalam masyarakat yang patriarkhis menggunakan perempuan untuk mendukung dan meneruskan nilai-nilai tersebut kepada generasi perempuan yang lebih muda sehingga secara perlahan mereka menjadi senior dalam tahapan menjadi patriarkh. Dalam kekuasaan tradisional perempuan yang tua mengontrol yang lebih muda dan tidak membiarkan mereka terlepas dari nilai patriarkhi.

Sayangnya, konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), hanya memperhitungkan eksistensi perempuan di ruang publik. "Pengalaman di Dunia Ketiga memperlihatkan, wilayah pertempuran justru ada di ruang privat," ujar Lies.

Mudahnya remaja terlibat, menurut guru besar psikologi dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, Prof Irwanto PhD, banyak terkait dengan kerentanannya. "Mereka berada dalam kebingungan identitas," ujar Irwanto. "Maka, heroisme dalam bentuk apa pun sangat tinggi nilainya," ungkap Irwanto.

Sementara itu, Konvensi Hak Anak dan Optional Protocol-nya, menurut Antarini Arna dari Yayasan Pemantau Hak Anak, juga tak cukup untuk melindungi anak-anak.

"Konvensi Hak Anak maupun Optional Protocol-nya tidak tegas memuat larangan merekrut anak menjadi combatant dalam situasi konflik bersenjata," ujar Antarini. Mungkin istilah combatant harus didefinisikan ulang, dengan konteks dunia kontemporer saat ini, lanjut dia. "Apa pun yang terjadi, negara dan seluruh sistemnya harus memperlakukan anak-anak ini sebagai korban." (MH)



Tidak ada komentar: